MITOS-MITOS MEMULAI BISNIS

1. Bisnis itu sangat beresiko

Ini mitos pertama yang salah. Karena sesungguhnya semua jenis pekerjaan itu memiliki resikonya masing-masing. Pandemi covid-19 yang dibarengi resesi ekonomi ini memberi pelajaran yang sangat baik bagi kita. Betapa tidak, musim pandemi covid-19 dan krisis ekonomi ini banyak perusahaan terancam bangkrut, sehingga menjadi karyawan itu juga beresiko sangat tinggi untuk dirumahkan bahkan diberhentikan atau di-PHK.   Akibat PHK ini, banyak mantan karyawan dari perusahaan yang mapan terpaksa berubah karena harus banting setir, mereka ada yang berubah menjadi tukang ojek, jualan telor, jualan sembako, jualan krupuk, jualan kacang dan lain-lain.

Naaahhh… bagi para pebisnis justru resiko ini sudah dianalisis dari sejak awal saat membuat desain rencana kerja, sehingga mereka lebih siap dengan membuat berbagai alternatif prediksi PLAN A, PLAN B, dan seterusnya. Sementara para karyawan biasanya tidak melakukan analisis resiko sehingga tidak membuat prediksi atau proyeksi PLAN A, PLAN B, dst. Akhirnya begitu terjadi PHK baru berfikir bagaimana dan bagaimana.

Jadi beresiko atau tidak suatu profesi tergantung bagaimana mainset kita dan bagaimana menjalaninya. Pada prinsipnya profesi apapun mempunyai resikonya masing-masing. Bisnis akan beresiko tinggi jika kita tidak belajar ilmu tentang bisnis. Jika kita meningkatkan skill berbisnis dan  skill manajemen resiko, insya Allah resiko berbisnis pun dapat diantisipasi bahkan dapat diturunkan. Dan dengan bertambahnya jam terbang maka kita akan makin ahli mengelola resiko.

2. Sebelum memulai bisnis harus punya Business Plan yang bagus.

Ini mitos kedua yang salah. Karena tantangan pertama dalam berbisnis itu bagaimana memulai action atau just do it untuk melawan rasa ketakutan atau malu menjadi pebisnis. Bisnis itu bukan masalah apa yang akan dikerjakan, tetapi masalah bagaimana mengerjakannya. Bisnis berskala kecil jika dikelola secara benar dan cerdas sambil bertawakal kepada Allah, insya Allah bisnis itu akan tumbuh dan berkembang menjadi besar melampaui ekspektasi pebisnisnya. Jadi tidak perlu membuat business plan? Business plan itu sangat perlu. Why ? Pebisnis yang tidak membuat business plan itu sama dengan merencakan kegagalan. 

Membuat Business Plan hanya merupakan langkah awal memahami struktur utama dari bisnis. Berikutnya yang terpenting adalah bagaimana action-nya. Business Plan yang sempurna dan disiplin eksekusi atau action merupakan bagian yang penting dari iktiar kita. Ikhtiar tersebut harus disempurnakan dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah melalui taqarub dan bermujahadah kepada Allah. Insya Allah ikhtiar yang demikian akan memperbesar peluang untuk sukses dalam berbisnis.

3. Kita harus punya modal besar untuk memulai bisnis.

Yeeeessss perlu dipahami bahwa modal berbisnis tidak harus uang. Modal utama dalam berbisnis setelah mindset itu adalah kemampuan membaca kebutuhan pasar yang kemudian memunculkan ide bisnis sebagai solusi jawaban permasalahan pasar atau masyarakat. Bisnis dengan modal yang besar namun tidak menjadi kebutuhan atau menjawab masalah pasar atau masyarakat, maka bisnis itu tidak akan tumbuh dan berkembang. Lalu bagaimana jika kita sudah mempunyai ide bisnis yang menjawab masalah dan kebutuhan pasar atau masyarakat tetapi tidak mempunyai modal uang ? Alternatif jawabannya kita dapat berkolaborasi dengan investor (pemilik modal) dengan model atau konsep bisnis sistem bagi hasil, menjadi reseller dahulu, preorder (menawarkan produk yang dipesan dengan uang muka dulu, kemudian dari uang muka itu dapat digunakan untuk biaya produksi ) atau dengan mencari dana hibah. Naaaaahhhh terjawab sudah bahwah memulai bisnis tidak harus mempunyai modal uang yang cukup dahulu baru dapat berbisnis. Kita harus mempunyai modal besar untuk memulai bisnis itu adalah mitos.

4. Memulai bisnis harus pintar dan punya banyak pengalaman

Seperti dalam beragama, siapa teman dekat kita akan mempengaruhi kualitas kita dalam beragama. Begitu juga dalam berbisnis realitanya betapa banyak sarjana ekonomi dan bisnis ternyata tidak berani berbisnis. Mereka sudah mempunyai ilmunya, sudah pernah praktek kerja lapangan bahkan sudah pernah magang. Naaaaahhhh, pada era informasi dan keterbukaan ini, pinter dan pengalaman saja ternyata tidak cukup. Dengan siapa kita berteman, bagaimana kita mengembangkan networking dan milikilah mentor. Bertemanlah dengan orang-orang sukses dan belajarlah kepada mereka yang telah sukses, lakukan Adaptasi, Tiru dan Mengembangkannya sampai berhasil. 

Kabar baiknya adalah pada era industri 4.0 ini kita mudah untuk membangun networking tanpa batasan lokasi dan waktu. Manfaatkanlah media sosial yang ada sekarang dengan maksimal dan optimal bergabung dengan asosiasi bisnis, komunitas bisnis, ikuti webinar bisnis, group bisnis, dan lain-lain.

5. Menjadi pebisnis sukses itu karena faktor keturunan.

Pebisnis sukses tidak ditentukan oleh faktor keturunan atau hereditas. Karena semua anak terlahir dalam kondisi fitrah maka treatment pendidikan apa yang diberikan oleh lingkungannya itu akan membentuk pengetahuan, perilaku akhlaq dan skillnya, begitu Rasulullah mengajarkan kepada kita. Mengawali hidup dengan kalimat tauhid, mengajarkan shalat sejak usia 7 tahun adalah bukti pelajaran spiritual bahwa kebaikan, keshalihan, dan kesuksesan itu dapat dilatih melalui proses pembiasaan. Stephen R. Covey (1997) juga mengajarkan bahwa kesuksesan itu dapat diraih melalui proses pengembangan kebiasaan yang efektif. Sean Covey (2001) menyampaikan betapa bahwa kebiasaan seseorang  itu dapat membuatnya menjadi sukses atau gagal. Malcolm Gladwell (2009) juga menjelaskan bahwa kesuksesan atau keahlian itu dapat dilatih secara terstruktur, tersistem, dan terukur sampai 10.000 jam.

Naaaahhhh, jika anda lahir dalam keluarga pebisnis bersykurlah anda dapat belajar dari di lingkungan keluarga anda yang pebisnis. Teruslah mengembangkan mindset bisnis anda, kembangkan value bisnis anda, kembangkan attitude bisnis anda, kembangkan behavior bisnis anda, dan kembangkan habits bisnis anda. Habits inilah yang akan menjadi ujung tombak sukses bisnis anda. Bukan keturunan.

6. Pengusaha itu hanya termotivasi oleh uang dan pelit

Sebagai orang beriman kita memiliki mindset untuk berjuang menegakkan agama ini dengan harta dan jiwa. Mindset itu terinternalisasi menjadi nilai diri untuk ikut berkontribusi memberikan donasi mengembangkan motivasi meningkatkan kualitas diri sebagai manusia ROBBANI.

Dewi Kreckman (2020) dalam https://www.facebook.com/dewikreckman.usa menyampaikan bahwa survei di small business Amerika menujukkan: (1) 37% ingin mewujudkan cita cita melalui bisnis (misal bisa pensiun muda, menyenangkan ortu, dll), (2) 28% ingin stabilitas keuangan, (3) 12% ingin menyumbangkan sebagian keuntungan ke masyarakat dan membuat perubahan kebaikan di dunia, (4) 10% ingin melayani pelanggan dengan baik. 

Lebih lanjut Dewi Kreckman (2020) menyampaikan bahwa jika ada yang mengira pengusaha kaya karena pelit harus membaca ulang data donasi para pengusaha kaya Amerika di tahun 2018 (hanya dalam waktu setahun): (1) Jeff Bezos dan istri donasi $ 2 billion, (2) Michael Bloomberg donasi $ 767 million, (3) Pierre Omidyar donasi $ 392 million, (4) Paul Allen donasi $ 260 million, (5) Mark Zuckerberg donasi $ 213 million.

Yang penting bukan kaya atau miskin tapi bagaimana kita menggunakan kekayaan kita. Bayangkan jika lebih banyak pengusaha kaya berdonasi jutaan dolar di Indonesia berapa banyak anak yatim, janda tua, hewan liar, dll yang bisa tersantuni?

Kaya bukan berarti cinta dunia dan tidak sedekah, miskin bukan berarti zuhud dan banyak sedekah. Betul apa betul bingits?

7. Menjadi pengusaha butuh ide baru yang brilliant

Menurut Dewi Kreckman (2020) mitos itu salah. Banyak orang takut memulai usaha karena berpikir bahwa idenya tidak istimewa. Padahal banyak pebisnis sukses dari meniru ide orang lain yang kemudian DIPERBAIKI secara berkesinambungan. Jadi BUKAN tiru plek yahhhhhhh!!!!

Contoh nyata adalah Facebook meniru Friendster tapi bisa jauh lebih sukses. Southwest Airlines bukan penerbangan pertama di dunia tapi salah satu paling sukses dan tertinggi profitnya di dunia bahkan mengalahkan Singapore Airlines.

8. Pengusaha butuh sekolah bisnis

Tidak semua pebisnis tuntas pendidikan formalnya. Karena memang pebisnis tidak membutuhkan gelar tapi membutuhkan ilmu. Jika anda tidak sempat sekolah bisnis maka perdalam ilmu bisnis dengan cara lainnya. Seperti halnya masuk Pesantren Wira Usaha Nurul Islam ini, anda akan diajak belajar berbisnis secara praktis dengan dibina oleh mentor bisnis. Jadi anda langsung diajak pratik, LEARNING BY DOING. Disamping itu anda juga dapat belajar dari : membaca buku, mengikuti seminar, pelatihan atau woekshop bisnis, cari mentor, dll.

Dewi Kreckman (2020) juga menyampaikan bahwa banyak juga pebisnis yang memiliki latar belakang berbeda antara pendidikan formal yang ditekuni dengan bisnisnya. Misal Bill Gates drop out dari Harvard tapi dia selalu konsisten membaca buku minimal 1 buah/Minggu. Malah temannya kuliah dulu yaitu Steve Ballmer yang lanjut kuliah di Harvard dan lulus Summa cumlaude menjadi karyawannya dengan posisi CEO.

Gelar/ijasah/sekolah formal tidak penting tapi terus belajar adalah WAJIB hukumnya begitu kata Dewi Kreckman.

9. Memulai bisnis sebaiknya usia muda

Mitos itu telah dibantah oleh Rasulullah SAW sejak 15 abad yang lalu. Belajar itu mulai dari ayunan sampai ke liang lahad. Begitu juga dalam hal berbisnis, anda dapat memulai kapan saja saat anda mau. Walaupun memulai apapun sebaiknya seawal mungkin bukan berarti yang senior tidak bisa sukses seperti yang muda.

Menurut Dewi Kreckman (2020) usia tidak bisa menjadi alasan untuk memulai berbisnis. Coba kita cek data berikut: (1) Jan Kaum founder WhatsApp memulai di usia 35 tahun, (2) Robert Noyce mendirikan Intel di usia 41 tahun, (3) Ray Croc memulai Mc. Donald’s usia 52 tahun, (4) John Pemberton memulai Coca Cola di usia 55 tahun, (5) Harland Sanders memulai KFC di usia 65 tahun.

Lebih lanjut Dewi Kreckman (2020) menjelaskan bahwa setiap orang memiliki waktunya sendiri-sendiri untuk sukses. Tidak perlu iri dengan sukses orang lain. Fokus membangun impian kita sendiri. “Kita tidak pernah terlalu muda untuk mulai bermimpi dan tidak pernah terlalu tua untuk memiliki impian baru”

10. Pebisnis tidak punya waktu untuk kehidupan pribadi

Mereka yang percaya dengan mitos itu mengira bisnis itu sangat menyita waktu hingga tidak punya waktu untuk keluarga. Padahal sebenarnya menjadi pebisnis kita memiliki dua hal yang tidak dimiliki karyawan yaitu: Flexibilitas dan kontrol. Walaupun di awal mendirikan usaha kita cenderung banyak lembur tapi begitu bisnis mulai stabil dan tersistem maka kita memiliki keleluasaan mengatur jadwal dan mendelegasikan.

Mau kerja pagi/siang/sore/malam mah suka suka kita. Mau kerja seminggu trus libur seminggu juga terserah. Yang penting pekerjaan sudah kita delegasikan dengan baik. Saat orang kerja weekdays kita bisa aja liburan.

Semoga tulisan ini bisa membantu menyemangati kalian yang ingin memulai bisnis ya. See you on top!

 

Sumber Inspirasi Tulisan ini:

https://www.facebook.com/dewikreckman.usa
Memulai bisnis pertama dengan modal awal 50 ribu rupiah, pendidikan D3 BHS Inggris, bukan dari keluarga pebisnis (ayah meninggal sejak bayi dan ibu tidak lulus SMP)